Foto:istmewa

Memaknai Malam Tradisi 7 Likur

Lpkapnews.com - Budaya
| Setiap memasuki bulan suci Ramadhan, banyak tradisi yang dilakukan masyarakat Melayu dalam rangka menyambut dan memeriahkan bulan suci Ramadhan, sebagai tanda syukur dan bergembira atas datangnya bulan penuh berkah.

Banyak ditemukan  tradisi yang berlaku secara turun-temurun sejak masa lalu, Salah satunya yang masih dilakukan namun sudah mulai redup pelaksanaannya adalah tradisi likuran atau 7 likur. Tradisi 7 likur sebenarnya adalah merupakan tradisi yang dilakukan sejak masa lalu secara turun-temurun oleh masyarakat Melayu dengan melakukan penyalaan lampu atau penerangan tradisional yang ditempatkan disekitar masjid, diberbagai penjuru jalan, halaman rumah dan teras-teras rumah penduduk.

Puncak tradisi ini berada pada malam 27 Ramadan yang dikenal dengan Istilah malam tujuh likur. Kenapa di malam tujuh likur?

Dikutip dari diskominfotik.bengkaliskab.go. Hasil penagamatan penulis dari wawancara ketua Majelis Ulama Indonesia Bengkalis, Ada dua alasan; pertama di malam itu biasanya orang-orang Melayu dahulunya berbondong-bondong datang menemui tok imam untuk membayar fitrah mereka. Kedua, malam 27 Ramadan itu berdasarkan penjelasan dan pengalaman para ulama terdahulu bahwa mereka sering bertemu dengan Malam Qadr itu pada malam tujuh likur.

Pada malam puncak pelaksanaan malam 7 likur,   pada masa lalu pelaksanaannya dilengkapi dengan berbagai kegiatan oleh masyarakat diantaranya dengan saling mengunjungi ke rumah-rumah penduduk dan dihidangkan makanan atau kue tradisional dan diakhiri dengan mendoakan agar keluarga yang didatangi memperoleh limpahan rahmat, pahala dan rezeki. Hal itu dilakukan bergiliran dari satu rumah ke rumah lainnya selama malam 27 Ramadhan tersebut.

Pelaksanaan perayaan malam terakhir Ramadhan bukan sebatas simbol budaya bagi masyarakat Melayu, tetapi lebih luas yaitu dalam rangka menyambut datangnya malam seribu bulan yaitu malam Lailatul Qadar. Dimana pada masa ini setiap individu akan lebih meningkat amal dan ibadahnya. Sesuai dengan ajaran Islam, umat Islam dianjurkan untuk menghidupkan malam-malam qadr tersebut dengan memperbanyak ibadah kepada Allah swt. Orang-orang melayu, seperti di Bengkalis dahulunya beramai-ramai memasang pelita di jalan-jalan dan atau membawa colok yang umumnya hari ini dikenal dengan istilah obor yang terbuat dari bambu sebagai penerang bagi mereka untuk pergi ke masjid atau ke surau untuk mendirikan qiyam al-lail.

Dengan demikian, pemasangan lampu colok dahulunya berfungsi sebagai alat penerang jalan bagi orang-orang Melayu, yang memang ketika itu belum ada listrik, sekaligus sebagai penyemangat mereka untuk melaksanakan ibadah pada sepuluh malam terakhir Ramadan. Pelita (lampu colok) adalah salah satu alat penerangan yang dipakai nenek moyang dahulu pada saat listrik belum dikenal.

Seiring dengan perkembangan zaman, pemasangan lampu colok yang dahulunya bersifat tradisional, kini dikonstruksi dalam bentuk bangunan sederhana menjulang ke langit yang terbuat dari bahan dasar kayu lalu didesain sedemikian rupa sehingga membentuk motif-motif tertentu yang setelah dipasang pelita, yang terbuat dari bekas kaleng-kaleng kemasan minuman dengan   jumlahnya yang  banyak sehingga terlihat begitu indah dan menarik  di malam hari.

Namun, belakangan setelah terbentuknya, Pemerintah Daerah  turut serta mendukung pelaksanaan tradisi ini dengan memberikan berbagai dukungan guna memperlancar segala sesuatu berkaitan dengan persiapan dan pelaksanaan tradisi 7 likur ini.

Istilah atau penamaan untuk menyebutkan tradisi 7 likur terkadang disebutkan dengan nama yang berbeda di setiap daerah, tetapi makna dan hakikatnya adalah sama.


Hal itu, bukan saja bermaksud menghidupkan tradisi budaya yang sudah mulai punah tetapi menyimpan berbagai hal positif yang bermanfaat khususnya dalam memberikan semangat kepada generasi muda untuk dapat memahami mengetahui akar budaya yang dimiliki masyarakat Melayu. Disisi lain tentu saja banyak manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan Festival Lampu Cangkok tersebut.

Penyambutan datangannya bulan suci Ramadhan ini sudah menjadi tradisi turun-temurun sejak dahulu. Penyambutan kedatangan bulan suci Ramadhan dengan membuat penerangan tradisional merupakan salah satu wujud rasa kegembiraan atas datangnya bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah, rahmat, dan ampunan.

Kemudian Tradisi ini merupakan ungkapan rasa syukur dan suka cita terhadap kedatangan bulan suci Ramadhan. Kegiatan ini dilaksanakan secara swakelola oleh masyarakat, segala perlengkapan dan peralatan yang dibutuhkan untuk melaksanakan tradisi ini diupayakan secara suka rela oleh masyarakat.

Berbagai makna tersimpan dalam pelaksanaan acara likuran atau akhir Ramadhan tidak hanya sebatas penyalaan lampu dan euphoria belaka tetapi tersirat berbagai makna dan kearifan lokal masyarakat Melayu dalam memaknai datangnya malam Lailatul Qadar. Namun seiring dengan perkembangan zaman saat ini tradisi malam likuran pada bulan Ramadhan sudah tergerus akibat berbagai hal yang terus mengikis kehidupan budaya masyarakat Melayu. Suasana hari ini sudah berbeda jauh dengan alam budaya masyarakat Melayu beberapa tahun silam.

Selain itu, tradisi nujuh likur juga kental dengan nilai-nilai moral dan spiritual. Lampu colok seharusnya mengingatkan bahwa Ramadan segera berakhir, maka sebagai umat Islam hendaknya lebih meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Terlebih pada malam ganjil karena pada malam itulah diyakini masyarakat datangnya lailatul qodar. Oleh karenanya, tradisi itu menjadi simbol. Dalam artian ketika diyakini bahwa penghujung Ramadan tepatnya ketika umat Islam menanti atau menunggu datangnya lailatur qadar.